Technology
Beranda / Technology / Minat terhadap Metaverse Menurun, Apakah Konsep Ini Gagal Total?

Minat terhadap Metaverse Menurun, Apakah Konsep Ini Gagal Total?

Ketika istilah metaverse pertama kali mencuat ke permukaan publik, terutama setelah Facebook resmi mengganti nama perusahaannya menjadi Meta pada tahun 2021, dunia teknologi seolah memasuki babak baru. Janji akan dunia virtual tanpa batas yang menggabungkan realitas fisik dan digital terdengar revolusioner. Namun, hanya dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun, antusiasme terhadap metaverse tampaknya mulai meredup.

Pertanyaannya kini mengemuka: Apakah metaverse benar-benar gagal? Ataukah kita hanya berada di fase jeda sebelum terjadinya lompatan besar?

Dari Hype ke Penurunan

Minat awal terhadap metaverse dipicu oleh berbagai janji — interaksi sosial virtual, kantor digital, game imersif, ekonomi baru berbasis aset virtual, dan pengalaman digital 3D yang lebih hidup. Perusahaan besar seperti Meta, Microsoft, Google, hingga perusahaan game seperti Epic Games ikut berlomba-lomba berinvestasi.

Namun, seiring waktu, publik mulai menyadari sejumlah tantangan yang membuat adopsi massal metaverse tidak semudah yang dibayangkan:

  • Perangkat mahal: Headset VR masih terbilang mahal dan belum nyaman untuk penggunaan jangka panjang.
  • Kurangnya konten menarik: Tidak semua orang ingin “tinggal” di dunia virtual yang masih terbatas pengalaman sosialnya.
  • Teknologi belum matang: Masih banyak keterbatasan dalam grafis, latency, dan interoperabilitas antar platform metaverse.
  • Kebutuhan tidak mendesak: Banyak orang tidak melihat alasan kuat untuk mengganti aktivitas online biasa (Zoom, YouTube, game mobile) dengan metaverse.

Akibatnya, banyak pengguna dan investor mulai mengalihkan perhatian ke teknologi lain yang dinilai lebih relevan dan aplikatif, seperti AI generatif, crypto yang lebih stabil, dan teknologi cloud.

Profesi Programmer di Tengah Kecanggihan AI, Apakah Masih Aman?

Indikator Penurunan Minat

Penurunan minat terhadap metaverse terlihat dari berbagai indikator:

  • Penurunan pengguna aktif: Platform seperti Decentraland dan The Sandbox mengalami penurunan jumlah pengguna harian yang signifikan.
  • Pengurangan investasi: Beberapa perusahaan mulai mengalihkan anggaran riset dan pengembangan mereka dari metaverse ke bidang lain seperti AI.
  • PHK massal di unit metaverse: Meta dan perusahaan lainnya melakukan pemangkasan besar-besaran di tim yang sebelumnya fokus pada pengembangan dunia virtual.
  • Minimnya pembicaraan di media: Dalam dua tahun terakhir, volume pencarian Google dan tren media sosial tentang metaverse turun drastis.

Namun, apakah ini berarti metaverse benar-benar gagal?

Konsep yang Terlalu Cepat Dipasarkan?

Salah satu argumen yang cukup masuk akal adalah: metaverse bukan konsep yang gagal, tapi terlalu dini diperkenalkan ke publik luas.

Banyak elemen pendukung metaverse — seperti jaringan 5G yang merata, perangkat yang terjangkau, regulasi aset digital, dan standar interoperabilitas global — belum siap. Teknologi seperti internet pun membutuhkan waktu puluhan tahun untuk benar-benar mainstream. Metaverse, dalam pengertian idealnya, bisa jadi masih 5–10 tahun dari masa matang.

Selain itu, banyak startup dan platform mencoba menjual visi metaverse tanpa menghadirkan pengalaman yang benar-benar dibutuhkan oleh pengguna. Alhasil, terjadi kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan.

Memaksimalkan Penggunaan iPad sebagai Alat Utama untuk Kerja Remote

Aplikasi yang Masih Relevan

Meski minat publik terhadap metaverse menurun, bukan berarti konsepnya benar-benar ditinggalkan. Beberapa aplikasi justru mulai menemukan bentuknya:

  • Industri pelatihan dan pendidikan: Penggunaan VR untuk pelatihan teknis, medis, dan simulasi kerja masih terus berkembang.
  • Event virtual dan hiburan: Konser digital dan pertemuan virtual skala besar tetap diminati, terutama pascapandemi.
  • Kolaborasi dan kerja jarak jauh: Tools seperti Microsoft Mesh dan Horizon Workrooms menunjukkan potensi untuk kolaborasi kerja imersif.

Dengan kata lain, metaverse mungkin gagal sebagai “produk massal instan”, tapi tetap relevan dalam aplikasi spesifik dan industri vertikal tertentu.

Kompetitor Konsep: AI dan Realitas Campuran

Bersamaan dengan meredupnya hype metaverse, teknologi AI — khususnya AI generatif seperti ChatGPT — justru mengalami lonjakan adopsi yang luar biasa. AI dianggap lebih aplikatif, murah, dan langsung berdampak pada produktivitas.

Selain itu, konsep augmented reality (AR) dan mixed reality (MR) yang lebih ringan dan terintegrasi dengan dunia nyata kini mulai menggantikan posisi metaverse sebagai “masa depan interaksi digital”. Apple Vision Pro, misalnya, membawa pendekatan yang lebih realistis dibanding dunia virtual penuh ala metaverse.

Kesimpulan: Gagal atau Masih Berproses?

Metaverse saat ini mungkin tidak lagi menjadi bintang utama dunia teknologi seperti dua tahun lalu. Namun, menyebutnya gagal total juga terlalu dini dan tidak sepenuhnya tepat.

Tips Menggunakan Gadget Apple dengan Optimal untuk Perjalanan Tanpa Halangan

Sebaliknya, metaverse sedang mengalami proses pembentukan kembali — dari sebuah hype ke bentuk aplikasi nyata yang lebih relevan dan berjangka panjang. Tantangan teknis, adopsi pengguna, hingga kesiapan infrastruktur harus ditangani terlebih dahulu sebelum metaverse benar-benar menjadi bagian dari keseharian.

Untuk saat ini, metaverse bukan masa depan yang hilang, melainkan masa depan yang ditunda. Waktunya mungkin belum sekarang — tapi bukan berarti tidak akan pernah terjadi.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement